Minggu, 07 Juni 2015

Pengorbanan Menuju Persatuan



Dari 193 negara didunia, mungkin hanya ada satu negara yang mampu mempertahankan persatuan yang utuh sebagai sebuah negara merdeka, yaitu Indonesia. Gimana enggak? Indonesia adalah negara majemuk dengan suku bangsa, bahasa, dan lima agama berbeda yang dianut penduduknya, tapi semua itu tak lantas membuat negara ini penuh dengan perang saudara dan konflik berkepanjangan yang bisa mencabik-cabik persatuan.

Jika kita iseng membandingkan dengan negara lain, betapa mereka sangat sulit untuk mempersatukan budaya dalam satu negara. Malah, beberapa negara harus terpecah belah karena perang saudara. Misalnya pembubaran negara Yugoslavia karena perbedaan ras dan budaya. Lalu ada perang sipil karena diskriminasi ras dan agama di Sudan yang akhirnya memisahkan negara Sudan dan Sudan Selatan, dan yang paling hangat adalah lepasnya Crimea dari Ukraina yang lebih memilih untuk bergabung ke Rusia.

Negara lain seakan iri melihat persatuan di Indonesia yang tetap terjalin harmonis ditengah gejolak dan pertikaian ras, agama, dan politik di dunia. Mereka juga berpikir keheranan kenapa Indonesia yang notabene adalah negara dengan banyak budaya dan agama yang berbeda, tetapi tetap mampu hidup berdampingan satu sama lain.



Tapi sadarkah kamu? Sebelum persatuan yang indah ini didapat, rakyat Indonesia harus jatuh bangun dulu untuk bisa mewujudkannya. Sejarah kelam Indonesia mencatat bagaimana darah, keringat, dan air mata harus tertumpah untuk mencapai kedamaian seperti yang kita bisa nikmati sekarang. Berikut adalah pengorbanan yang harus dilewati rakyat Indonesia untuk mencapai persatuan yang murni:

G 30 S PKI (1965)

G 30 S PKI merupakan konflik politik terkelam dalam sejarah Indonesia. Gerakan ini adalah upaya kudeta untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berhaluan komunis. Dalam peristiwa ini diperlihatkan bagaimana bangsa indonesia kehilangan rasa kemanusiaannya dengan terjadinya kekejaman manusia atas manusia pada saat itu.

Setelah terbunuhnya enam jenderal dan kegagalan kudeta yang dilakukan PKI. Rakyat Indonesia marah dan melakukan genosida kepada lebih dari 3 juta simpatisan PKI di seluruh Indonesia. Mereka menyekap, menginterogasi di kamp tahanan, dan mengeksekusi tanpa melalui proses peradilan. Pembantaian terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November), dan Bali (bulan Desember). Kondisi Indonesia saat itu sangat mencekam.

g30s pki gestapu 1965 03
Simpatisan PKI yang dijaga ABRI
g30s pki gestapu 1965 07
Sebelum dibantai, mereka disuruh menggali liang lahatnya sendiri
g30s pki gestapu 1965 08
Eksekutor mengatur calon korbannya

g30s pki gestapu 1965 14
Korban tewas masih saja dipukuli di depan umum

Catatan tidak resmi menyebutkan setidaknya 500.000 hingga 3 juta orang tewas dalam pembantaian massal yang terjadi pada akhir 1965. Ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp konsentrasi tanpa adanya perlawanan sama sekali.

Tragedi Mei 1998

Kejadian ini bermula dari krisis finansial yang melanda asia pada 2008 dan dipicu oleh penembakan 4 mahasiswa Trisakti yang dikenal dalam Tragedi Trisakti. Aksi pembunuhan ini berbuntut pada kemarahan mahasiswa dan melakukan gelombang unjuk rasa besar-besaran yang akhirnya berhasil menduduki gedung DPR/MPR. Kerusuhan ini diikuti dengan peristiwa anarkis di ibukota Jakarta dan beberapa kota besar lainnya yang menimbulkan banyak korban jiwa maupun material.

Terjadi pembunuhan, penyiksaan, penjarahan, hingga pemerkosaan massal. Kaum Tionghoa adalah kaum yang paling tertindas dalam tragedi Mei 98. Dimana terjadi penjarahan toko – toko milik Tionghoa, bahkan marak terjadi pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa yang dilakukan secara brutal. Akibat aksi kekerasan ini, terjadi eksodus besar warga Tionghoa meninggalkan Indonesia karena warga yang merasa ketakutan dan trauma. Tragedi ini mendapat perhatian dunia dan sempat menjadi headline surat kabar di Asia.

Kejadian monumental saat mahasiswa menguasai gedung DPR

Pengendara melintas di depan toko milik Tionghoa yang hangus di Solo, Jawa Tengah
Peristiwa Mei 98 mengakibatkan pengunduran diri Soeharto dari kursi presiden dan digantikan B.J Habiebie yang saat itu menjadi wakil presiden. Ini menandai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya era reformasi seperti sekarang. Namun, pengusutan terhadap kasus pelanggaran HAM dalam tragedi ini masih buram hingga sekarang.

Kerusuhan Sambas-Sampit (1999)

Walaupun berbeda tempat dan waktunya, dua kerusuhan ini dapat disimpulkan sebagai perang antar-etnis antara suku dayak dan suku Madura. Konflik Sambas terjadi di Sambas, Kalimantan Barat, antara suku Dayak dan Melayu dengan suku pendatang (Transmigran) yaitu suku Madura. Konflik ini bermula dengan perkelahian antara suku Melayu dan Madura, kemudian meluas dengan bergabungnya ratusan massa dari kedua kubu yang bertikai. Warga suku Melayu dibantu warga suku Dayak melakukan penyerangan, pembakaran, pengrusakan, penganiayaan, dan pembunuhan warga suku Madura.

Sedangkan di Sampit , Kalimantan Tengah, keadaan lebih mengerikan lagi dimana banyak terjadi pemenggalan kepala oleh suku Dayak kepada suku Madura. Hal ini sebenarnya adalah tradisi perang suku Dayak yang bernama Ngayau. Peristiwa berkembang dengan terjadinya gelombang besar pengungsian suku Madura menuju Singkawang dan Pontianak. Tentara, polisi, dan aparat berwajib lainnya hampir tak berkutik mengatasi konflik ini.

Pengungsi Madura di Banjarmasin, Kalimantan Selatan
Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari 1.189 orang tewas, 168 orang luka berat, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, 8 masjid/madrasah dibakar, dan 29.823 warga Madura mengungsi. Sedangkan di Sampit terjadi lebih dari 500 kematian, lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal, dan banyak warga Madura yang tewas tanpa kepala tergeletak di jalanan Sampit.

Kerusuhan Ambon (Januari 1999 - Desember 1999)

Secara garis besar, konflik Ambon adalah konflik yang terjadi antara mayoritas kaum Muslim dan minoritas kaum Kristen di kota Ambon dan sekitarnya. Berawal hanya dari lempar-lemparan batu antar kelompok pemuda, konflik ini meluas menjadi pertikaian berbau SARA. Warga muslim dan Kristen di Ambon saling serang dan mengakibatkan pembakaran masjid dan gereja, pembantaian oleh dua kelompok yang bertikai, pengrusakan, pemaksaan pindah agama, dan juga penjarahan, sehingga hal ini dianggap sebagai konflik dengan pelanggaran HAM berat.

Masjid Mutaqin, salah satu masjid yang terbakar dalam konflik Ambon
Sudut desa Popilo, Maluku Utara setelah konflik

Data korban tewas hingga saat ini masih simpang siur, tapi sedikitnya 688 orang tewas dan 1.500 orang hilang. Konflik ini juga menyebar ke pulau pulau disekitar Ambon seperti Pulau Seram, Pulau Buru, dan Pulau Halmahera karena adanya provokasi dari pihak yang tak bertanggungjawab.

Konflik Ambon masih menyisakan trauma yang berkepanjangan bagi warga Ambon. namun, ancaman terulangnya konflik serupa masih tetap ada.

Konflik Poso (1998-2001)

Konflik yang bernuansa SARA juga terjadi di Poso, Sulawesi Tengah dalam waktu yang hampir bersamaan. Konflik ini diduga sebagai imbas era reformasi tahun 1998, selain itu banyak daerah di Sulewesi yang tidak menikmati hasil pembangunan nasional karena sistem sentralistik yang hanya terpusat pada ibukota negara, yaitu Jakarta.

Sudut kota Poso yang membara
 
Puing puing sisa konflik Poso 1998

Situasi Poso masa konflik sangat memilukan. Mayat warga sipil bergelimpangan, rumah yang hangus karena dibakar menjadi pemandangan biasa di Poso, belum lagi ancaman bom yang hampir setiap hari terjadi membuat warga Poso menjadi tak tenang dan memilih mengungsi. Selama konflik tercatat 542 korban tewas, 125 orang luka berat, 31 rumah ibadah hancur, 6211 rumah terbakar, 161 fasilitas pemerintah dan swasta tak dapat berfungsi (Kompas, 19/12-2001). Konflik Poso berakhir setelah ditandatanganinya Deklarasi Malino pada 20 Desember 2001 oleh kelompok Islam dan Kristen. Namun, pertikaian kecil dan ancaman bom masih saja terjadi setelahnya.

Tragedi diatas mengingatkan kita bahwa pertikaian ras, agama, dan politik juga pernah terjadi di Indonesia. Namun, hal itu tak lantas memecah belah persatuan kita. Akan tetapi persatuan yang berhasil dijaga ini juga harus dibayar mahal dengan nyawa dan air mata, dimana jutaan rakyat tewas dan puluhan ribu lainnya mengalami trauma. Itulah beberapa perjuangan rakyat Indonesia untuk menuju persatuan. Perjuangan yang akan selalu mengingatkan kita akan arti pentingnya persatuan itu sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar