Senin, 07 September 2015

Rumahku, Istanaku


Rumah...

Ada sebagian orang yang berpendapat rumah adalah simbol prestise, yang hanya untuk ditinggali, dirawat, kemudian ditinggalkan hingga akhirnya dilupakan. Bagi mereka, rumah harus dibangun bertingkat-tingkat, dengan tembok tinggi disekelilingnya, plus satpam dan dua anjing galak yang menjaganya.

Tapi bagiku, rumah bukan hanya sekedar itu...

Rumahku, istanaku tidak hanya sekedar tumpukan bata dan segala perabotan mewah yang menghias didalamnya. Rumah, akan menjadi sebuah “istana” apabila diisi dengan satu hal penting, yaitu kehangatan keluarga. Tanpa satu syarat ini, rumah yang berdiri megah pun akan terasa seperti gubug reyot nan sepi jika tidak ada sentuhan hangat keluarga. Sebuah paradoks yang juga menjelaskan kepada kita bahwa betapa kebahagian itu tak bisa dibeli dengan uang satu karung sekalipun.

Alkisah, hidup dua keluarga yang menghuni dua rumah yang sangat berbeda. Rumah yang satu adalah rumah mewah milik seorang pengusaha beserta keluarganya. Rumah itu sangat mewah, dilengkapi dengan segala furnitur mahal, parkir yang luas, dan ada lapangan golf, lapangan bola, dan segala jenis lapangan lainnya, kecuali lapangan udara. Sedangkan, rumah yang kedua adalah rumah sederhana milik seorang buruh dan keluarganya. Rumah ini bertipe RSSSSSSS (Rumah Sangat Sederhana Sekali Sehingga Selonjor Saja Susah) yang berdiri ditepian kali dipinggiran kota.

Lalu, apa yang membedakan dua rumah itu?

Rumah mewah itu selalu kelihatan sepi. Si suami yang pengusaha tusuk gigi selalu pulang larut malam, sedang sang istri sibuk merintis karir di dunia tarik suara dan tarik tambang. Kemana sang anak? Karena jarang mendapat perhatian, dia memilih untuk menyewa apartemen yang dekat dengan kampusnya. Baginya, tinggal di rumahnya sendiri seperti tinggal di neraka, karena hapir setiap hari dia mendengar kedua orangtuanya bertengkar.

Rumah kedua itu tampak asri walaupun sederhana. Ternyata istri buruh pabrik itu hobi berkebun. Rumah itu selalu diselingi tawa canda riang anak sang buruh. Dan yang membuat buruh itu betah di rumah adalah masakan enak sang istri, dan kebersamaan yang hangat ketika mereka sekeluarga duduk bersama di meja makan. Sambil bergurau satu sama lain.

Nah, rumah mana menurutmu yang layak menjadi sebuah istana? Aku yakin rumahku, istanaku hanya semu belaka...











Tidak ada komentar:

Posting Komentar