Selasa, 12 Januari 2016

Nilai Pohon dalam Sastra




Keserakahan manusia terhadap alam mempengaruhi keberlangsungan hidup hewan dan tumbuhan, terutama pohon. Manusia menebang dan membakar pohon dengan cara membabi buta. Jika dulu pohon ditebang hanya untuk membuat api dan membangun rumah, sekarang menebang pohon adalah ladang bisnis pengeruk uang yang menggiurkan. Hal inilah yang menjerumuskan manusia dalam keserakahan terhadap alam yang justru menggiring pada kehancurannya sendiri.

Dalam dunia sastra, pohon memiliki makna yang tinggi. Pohon pernah menjadi bagian dari imaji tentang keindahan, kesegaran, kedamaian, dan kehidupan yang organik dan komunal.

Dalam beberapa teks sastra, pohon menjadi jalan bagi banyak penyair atau novelis untuk menuliskan kebebasan, kritik pada perilaku manusia, penghancuran benteng terakhir alam, dan sebagainya. 

Iman Budhi Santosa dalam kumpulan puisinya “Matahari Matahari Kecil” (2004) menulis puisi berjudul “Catatan Mandor Hutan RPH Getasan”...
 


Kedamaian yang dirusak oleh peradaban juga dinarasikan Abidah El Khalieqy (2004:81) lewat novel Geni Jora. Novel ini menarasikan Jora dan adiknya, Lola, yang hidup dalam keluarga dengan religiositas dan pagar rumah yang tinggi. Citra sosial dan spiritual membuat seluruh keluarga terpisah dari lingkungan sekitarnya. Tembok rumah yang besar itu terlalu sulit diterobos. Namun, Jora dan Lola masih mempunyai pohon jambu kerikil yang tinggi di areal kebun belakang rumahnya. Dari pohon ini, Jora dan Lola bisa menyaksikan tetangga disekitar rumahnya. Ada warga yang berolahraga di setiap pagi atau penampilan seronok saat pulang kerja.

Dalam novel ini, seperti yang banyak dialami anak kampung, pohon adalah ruang interaksi manusia-pohon-alam. Dari pohon, perjumpaan terjadi dalam sembunyi, dalam diam, juga dalam percakapan pelan. Pohon juga jadi ruang mengundang ribuan pertanyaan, mulai dari posisi sosial, pendidikan, keluarga, asmara, hingga gender. Pohon bergerak menjadi sebuah makna kebebasan.

Sementara Daoed Joesoef dalam buku Emak (2010: 36-39), menarasikan pohon sebagai masa depan kehidupan, jalan spiritualitas, juga intelektualitas. Daoed mengenang masa kecilnya saat menyusuri hutan di Medan bersama sang Emak. Emak pernah menegaskan, menanam pohon adalah salah satu cara untuk memberi penghormatan terhadap nenek moyang, selain untuk kehidupan anak cucu masa mendatang. Sang Emak juga memberikan petuah dalam kalimat kalimat filosofis;

“Untung ada orang lain yang dahulu mau menanaminya, walaupun dia, kita, dan setiap orang sadar bahwa perkembangan usia kurang memungkinkan si penanam dapat menikmati jerih payahnya sendiri selagi dia masih hidup. Kecuali kalau yang menanam itu masih bayi, sedangkan seorang bayi dapat melakukan itu...”

Namun, saat ini, kita menemukan pohon dalam hasrat bisnis dan keserakahan. Pohon bukan lagi sebagai kawan pelindung, pembawa kearifan spiritual, kesejukan surgawi, penyubur imajinasi, malah pohon menjadi lawan yang harus dimusnahkan. Dan kitapun sulit memastikan kehidupan dimasa depan. Tanpa pohon. Semua karena ulah kita, manusia.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar